Resiko yang Mesti Ditanggung Saat Pemerintah Tak Mengendalikan Pangan

By Admin

Foto/Ilustrasi  

nusakini.com - Ketiadaan peran pemerintah dalam sektor pangan berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat dan negara ke depannya.

Pengusaha kakap, kata Kepala Balai Besar Mekanisasi Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan), Andi Nu​​r Alam Syah, bakal leluasa menjual produknya dengan harga tinggi, tanpa memedulikan nasib petani selaku produsen dan masyarakat sebagai konsumen.

“Mereka akan mengendalikan pangan pokok rakyat,” ujarnya di kantor Kementan, Jakarta, Senin (31/7/2017). Pengendalian terjadi ketika para pengusaha bersatu dan menjadi kartel.

Terlebih, berdasarkan fakta yang terjadi sampai sekarang, petani tak pernah menikmati untung ‘selangit’ hingga 300 persen yang diraup pengusaha besar.

“Keuntungannya bisa sampai 300 persen tanpa harus bekerja apa-apa, cuma modal duit dan mengontrol pasar. Petani enggak kaya-kaya, konsumen tercekik lehernya,” ketusnya.

Artinya, harga gabah yang dibeli pengusaha di atas acuan pemerintah, tak berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kesejahteran petani.

Nur Alam lantas menceritakan derita petani Indonesia, seperti yang dialami Mashuri, petani Desa Karangtengah, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah, sebagai contoh.

Sejak pagi hingga sore hari selama 120 hari non-setop, Mashuri harus bekerja tanpa henti di sawah yang dikelolanya, agar produksi sesuai harapan.

Dia pun harus segala siaga dalam menghadapi ancaman yang mengganggu lahannya, seperti serangan hama dan kekeringan, sehingga gagal panen. Tak heran, jika usaha tani tak sepenuhnya berjalan mulus.

“Derita petani padi ini, tidak banyak diketahui konsumen. Mereka hanya melihat padi sudah berubah menjadi beras, tanpa mau peduli bagaimana jerih payah petani berjuang demi konsumen. Padahal, kalau harga turun drastis, petani menderita,” ungkapnya mengingatkan.

Konsumen, jelas Nur Alam, juga menjadi pihak yang dirugikan oleh ulah perusahaan yang menjual berasnya sesuka hati ‘atas nama’ keuntungan besar.

Terlebih, tingkat pendapatan masyarakat bervariatif dan tidak semuanya ‘berkantong tebal’. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia mengonsumsi beras sebagai asupan pokok dan sumber karbohidrat utama.

Peran Pemerintah

Karenanya, Kementan di bawah komando Menteri Andi Amran Sulaiman, ucap Nur Alam, terus berupaya mewujudkan harga pangan yang stabil, tanpa merugikan petani dan membuat konsumen menderita.

Sebab, menyadari urgensi kehadiran dan peran besar pemerintah di sektor pangan. Salah satu upaya yang dilakukan, membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pangan guna menindak tegas pengusaha yang sekadar mencari untung, tanpa memperhatikan nasib petani dan konsumen.

“Dua pokok masalah ini telah menjadi kunci pemerintah untuk hadir di tengah-tengah petani menjalankan roda birokrasinya,” urainya.

Penggerebekan gudang beras milik PT Indo Beras Unggul (IBU) di Bekasi, Jawa Barat, 21 Juli lalu, adalah contoh konkretnya.

Demi mewujudkan keadilan di sektor pangan dengan menjaga stok dan harganya, ungkap Nur Alam, kehadiran pemerintah ditunjukkan melalui peraturan perundang-undangan.

“Pemerintah mengeluarkan Perpres (Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015, red) untuk penetapan dan penyimpanan bahan pokok dan penting,” jelasnya.

“Permendag (Peraturan Menteri Perdagangan) juga mengatur harga acuan bawah untuk melindungi petani dan harga acuan atas untuk melindungi konsumen. Pemerintah menjaga dua rantai ini dari pihak ketiga, yaitu para makelar,” sambung dia.

Tak sekadar itu, guna menjaga produksi pangan agar melimpah ruah dan tidak bergantung terhadap produk impor, pemerintah menggelontorkan dana hingga triliunan rupiah terhadap petani, baik langsung maupun tidak langsung, melalui berbagai skema. Subsidi input berupa benih Rp1,3 triliun dan pupuk Rp31,2 triliun, misalnya.

Belum lagi perbaikan maupun pembangunan sarana prasarana infrastruktur penunjang dan pengadaan alat dan mesin pertanian (alsintan) yang nilainya juga menembus triliunan rupiah tiap tahun.(p/ma)